Sabtu, 16 April 2011

Taat Mutlak dan Tanpa Pamrih


Setiap tahun kita melakukan ritual minggu sengsara dan paskah ini. Bahkan sudah menjadi tradisi di dalam komunitas kita untuk melakukan persekutuan doa khusus selama masa minggu sengsara dan Paskah, yang kadang disertai dengan berpuasa. Maksud dari tradisi ini sungguh indah, yaitu untuk mengingatkan kita semua akan pengorbanan Yesus demi kita. Dia yang mulia telah rela menjadi hina demi kita. Kesengsaraannya yang dahsyat, rela dilakoninya karena kasihnya yang demikian besar kepada kita. Dengan menjalankan ritual minggu sengsara yang dipuncaki dengan perjamuan suci di Jumat Agung dan perayaan kemenangan di hari Paskah, kita ingin mengenang dan mensyukuri kasih karunia yang kita telah terima.

Sudah bertahun-tahun saya juga ikut menjalankan ritual minggu sengsara dan Paskah ini, dan semuanya sudah mulai berjalan secara otomatis. Doa-doa, puasa, bahkan rasa haru karena penderitaan Yesus Kristus tanpa sadar mulai terasa sebagai sesuatu yang rutin harus terjadi di masa ini. Semua yang menjadi rutinitas dengan mudah akan menjadi tidak bermakna, karena itu sebelum itu terjadi, saya mau duduk dan merenungkan sekali lagi makna sengsara dan kematian Yesus bagi saya.

Pertanyaan yang terutama adalah mengapa Yesus harus menderita sengsara dan mati di kayu salib? Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3:16). Jawabannya hampir otomatis meloncat dari kepala saya, “karena kasih Allah akan manusia, karena Yesus sungguh mengasihi saya.” Saya kira banyak orang Kristen yang juga akan memberi respon yang sama dengan saya terhadap pertanyaan ini. Sejak di sekolah minggu, kita sudah diajarkan tentang hal ini. Allah mengasihi kita sehingga Yesus harus lahir di kandang hina di Betlehem, dan kemudian mati dengan sengsara yang memilukan di atas kayu salib. Seorang hamba Tuhan bahkan memakai cuplikan film The Passion of the Christ karya Mel Gibson dalam khotbahnya, untuk menjelaskan betapa dahsyatnya kesengsaraan Yesus.

Jawaban yang kedua yang kadang diberikan kepada pertanyaan di atas adalah karena Yesus taat kepada kehendak Allah Bapa. Doa Yesus di taman Getsemani sebelum penangkapannya dan uraian Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi (Filipi 2:5-8), menunjukkan bahwa Yesus menderita sengsara dan mati dengan mengerikan di kayu salib karena ketaatannya kepada Allah. Dibanding jawaban yang pertama, jawaban ini sedikit ‘kurang otomatis’ karena membutuhkan sedikit perenungan. Namun jawaban ini juga tidak berbeda jauh dengan jawaban yang pertama, karena Yesus taat kepada Allah Bapa karena dia kasihnya yang teramat besar bagi kita.

Dua jawaban yang hampir otomatis ini menunjukkan bahwa betapa cerita pengorbanan Yesus sudah benar-benar menjadi internal dalam diri kita. Itu sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Akan tetapi, di masa minggu sengsara kali ini saya menemukan satu hal yang berbeda. Cerita yang sudah demikian tertanam di dalam kepala kita itu, tanpa sadar membuat kita melupakan satu detail penting tentang kedatangan Yesus ke dunia ini. Itu adalah kehidupan Yesus di dunia bukan hanya cerita kelahiran di kandang hina di Betlehem dan kematian penuh sengsara di Kalvari. Di antara dua cerita itu, ada cerita lain, yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan, karena cerita yang satu itu adalah “jembatan” yang menghubungkan Betlehem dan Kalvari.

Selain cerita kasih Allah yang teramat besar dan ketaatan Yesus Kristus yang mutlak kepada kehendak Allah Bapa, ada sebuah cerita lain yang perlu direnungkan di masa minggu sengsara dan Paskah ini. Itu adalah cerita kehidupan Kristus di dunia ini. Bagaimana kasih Allah yang teramat besar itu dinyatakan dalam tindakan Yesus, dan kehendak Allah Bapa yang seperti apa yang ditaati Yesus dengan mutlak selama kehidupannya, adalah dua hal yang sangat berharga untuk kita renungkan juga.

Yesus tidak datang kepada para pemuka agama atau penguasa Romawi dan meminta mereka untuk serta merta menangkap, menyiksa, dan menyalibkan dia. Jika itu yang dia lakukan, karena itu adalah kehendak Allah Bapa, mungkin dia malah tidak akan pernah mati di kayu salib. Akan tetapi, apa yang dilakukan Yesus ketika dia memulai melaksanakan tugasnya di dunia ini, setelah pentahbisannya melalui baptisan Yohanes Pembaptis di sungai Yordan dan pencobaan di padang gurun? Yesus masuk ke rumah ibadat dan menyatakan: 18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku 19 untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” 20 Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. 21 Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk 4:18-21).

Kita bisa setuju tujuan Yesus datang ke dunia adalah untuk menderita sengsara dan mati di kayu salib Kalvari. Kehendak Allah adalah Yesus menjadi anak domba Paskah yang berkorban untuk menebus kita manusia dari dosa-dosa kita. Akan tetapi, Yesus menderita sengsara dan mati di kayu salib bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Sengsara dan kematiannya terjadi karena apa yang dikerjakannya selama kurang lebih 3,5 tahun kehidupan publiknya di dunia. Injil Lukas mencatat dengan terang benderang, deklarasi Yesus mengenai apa yang akan dikerjakannya selama hidupnya yang singkat di dunia ini. Dia adalah sang Mesias, yang diurapi dengan Roh Tuhan untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, pembebasan kepada orang tawanan, penglihatan kepada orang buta, membebaskan orang tertindas, dan memberitakan tahun kasih karunia telah tiba. Kehidupan publiknya yang singkat di dunia ini adalah kehidupan yang menjalankan semua hal ini.

Butuh banyak halaman untuk menceritakan dengan tuntas kehidupan publik Yesus. Akan tetapi, dengan ringkas kita bisa melihat, bahwa tugas yang diemban Yesus di dunia ini, membawa dia melakukan banyak hal yang ternyata tidak disukai oleh para pemimpin agama di masa itu. Dia memberitakan kabar baik kepada orang miskin dengan cara menyelesaikan persoalan kemiskinan mereka. Dia membawa pembebasan kepada orang tawanan, dengan cara membebaskan mereka dari tawanan. Dia memberikan penglihatan kepada orang buta, memerdekakan mereka yang tertindas, dan memberikan pengampunan kepada mereka yang tenggelam paling dalam oleh karena dosa.

Keempat Injil mencatat, berkali-kali Yesus ditentang para pemuka agama, ahli Taurat dan orang Farisi, karena dia bertindak tidak sesuai dengan ‘kaidah-kaidah’ yang mereka anut selama ini. Di hari Sabat dia melakukan banyak mujizat dengan sengaja. Dia bergaul dengan kelompok-kelompok yang dijauhi oleh para pemuka agama karena dianggap berdosa. Dia bahkan membiarkan dirinya dijamah oleh orang-orang yang dianggap najis oleh fatwa para pemimpin agama. Dia mencari sendiri murid-muridnya, dan mereka adalah orang-orang dari kalangan biasa, yang tidak punya pemahaman agama seperti umumnya para murid ulama-ulama di masa itu. Mereka adalah orang-orang biasa, bahkan dari kalangan yang rendah dan tidak dihargai di dalam masyarakat. Di antara orang-orang terdekatnya ada nelayan yang tidak berpendidikan, pemungut cukai, orang Zelot, bahkan ada banyak perempuan, termasuk Maria Magdalena yang terkenal karena dosa-dosanya. Mengapa Yesus menjalankan kehidupan publiknya dengan cara seperti itu? Jawabannya memang sederhana: karena itulah kehendak Allah baginya. Itu adalah tugasnya di dunia ini, tugas yang memimpin kepada tujuan sejati kedatangannya ke dunia, sebagai juruselamat manusia.

Saya rindu minggu sengsara dan Paskah saya selalu bermakna. Tahun ini saya menemukan maknanya dalam cerita kehidupan publik Yesus ini. Yesus tahu dengan baik tujuan kedatangannya ke dunia ini. Dan dia melakukannya dalam ketaatan yang mutlak. Meskipun ketaatan itu berarti dia harus berhadapan dengan kekuatan para pemimpin agama, yang telah beratus-ratus tahun mendominasi kehidupan umat dengan peraturan-peraturan mereka. Segala bentuk ancaman dan intimidasi, tidak bisa membungkam atau menghentikan Yesus melaksanakan tugas yang telah diamanatkan kepadanya. Sampai akhirnya Salib di Kalvari menjadi puncak ketaatan kepada Allah dan puncak kasih yang teramat besar itu.

Ketaatan Yesus juga ditunjukkan dalam totalitas yang ditunjukkannya. Dia melaksanakan tugas yang diamanatkan kepadanya dengan total dan tanpa pamrih apapun. Dia tidak tergoda oleh peluang memperoleh kekuasaan secara politis. Dia juga menampik godaan untuk kekayaan dan kemewahan materi yang ditawarkan kepadanya. Bahkan dia juga tidak tergiur dengan popularitas dan ketenaran yang mengikuti dia karena apa yang dikerjakannya benar-benar menjawab kerinduan umat pada waktu itu. Sekali lagi, Yesus tahu dengan baik tujuan keberadaannya di dunia, dan sepenuhnya mengarahkan dirinya untuk melakukan tugas yang diamanatkan kepadanya.

Bagaimana Yesus bisa taat dengan mutlak dan total melakukannya tanpa pamrih? Injil menceritakan bahwa Dia hidup dalam persekutuan yang intim dengan Allah Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30). Itulah yang membuat dia mengenakan kuasa Allah yang memampukan dia mengerti dengan persis kehendak Allah yang harus dilakukannya.

Di masa minggu sengsara dan Paskah ini, teladan Yesus ini mengajarkan satu hal kepada saya, sudahkan saya menemukan tujuan keberadaan saya di dunia ini, dan tugas apa yang diamanatkan Tuhan bagi saya? Lalu, sudahkah saya menaatinya dengan mutlak, dan melaksanakannya dengan total tanpa pamrih?

Hidup dalam ketaatan kepada panggilan Tuhan, seringkali bukan hidup yang menyenangkan dan mudah. Ada begitu banyak ‘kuasa’ yang menentang, mengecam, menghalang-halangi. Terkadang bahkan kecaman dan tantangan justru datang dari orang-orang yang paling dekat bahkan. Hidup dalam ketaatan dan hidup yang tanpa pamrih pun mengandung ‘resiko’ yang besar. Tidak ada jaminan selain percaya kepada Dia yang memanggil, dan tidak ada ‘upah’ selain panggilan itu sendiri. Di minggu-minggu sengsara dan Paskah ini, saya mau hidup dalam persekutuan yang lebih intim dengan Allah Bapa, agar saya lebih lagi mengenakan kuasa-Nya yang memampukan saya mengerti kehendak-Nya dan mengikuti tuntunan-Nya, dan memampukan saya melakukan semua tugas yang diamanatkan kepada saya dengan taat dan tanpa pamrih. Yesus Kristus adalah teladan sempurna, dan pengikut Kristus mengikuti jejak kakinya.

10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, 11 supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati. (Filipi 3:10-11)